Bandung - Curug Dago di Kecamatan Coblong, Bandung, Jawa Barat, sebenarnya tak sulit ditemukan. Melewati Punclut lalu masuk Jalan Dago Pojok akan menemukan pertigaan, berbeloklah ke kiri. “Terus entar jalan bentar, ada belokan ke kiri. Dari situ tinggal nyusurin (mengikuti) jalan aja,” kalau kata Tyas, salah seorang teman saya.
Memasuki gerbang Curug Dago setelah melewati jalan kecil sejauh 200 meter yang hanya bisa dilalui motor, pengunjung bisa menyaksikan potongan aliran Sungai Cikapundung yang mengalir dari Maribaya ini.
Turun dari kendaraan sambil menghirup udara dataran tinggi membuat lelah saya di perjalanan dari perkotaan pun menguap. Setelah membayar tiket seharga sekitar Rp15.000, saya turun menyusuri tangga menuju tempat lebih rendah. Taman bermain kecil-kecilan menyambut mata saya. Saat saya lewati, seorang balita tengah duduk di ayunan sedang ibunya ada di dekatnya.
Hati-hati adalah kunci utama saat wisata di alam. Tangga agak curam dan licin—mungkin akibat jejak hujan semalam.
Curug dalam Bahasa Sunda yang artinya air terjun akhirnya di depan mata. Air terjun yang lumayan besar—setinggi 800 meter, itu sayangnya tak bisa diselami. Saya membuang jauh-jauh harapan merasakan air segar pegunungan. Selain dalam, air pada hari itu, Sabtu (21/4), agak kecoklatan. Meski begitu, tak menyurutkan semangat melihat lukisan alam ini. Suasana yang tenang dan matahari pagi yang malu-malu dari balik tebing menambah kilau Curug Dago.
Pada tahun 2000-an, Curug Dago akhirnya resmi menjadi cagar budaya. Namun, pengelolaan dibagi menjadi dua: bagian atas oleh pengelola Tahura dan bagian bawah sampai ke sungai oleh BPCB (yang sekarang menjad BPNB atau Balai Pelestarian Nilai Budaya) Bandung.
Tak jauh dari air terjun, terdapat sebuah pos berbentuk rumah warna merah. Dari luar, pos ini tampak kosong dan usang. Ujung atapnya memiliki ornamen dan runcing di ujungnya yang mengingatkan saya dengan etnis Tionghoa. Rupanya terdapat jejak sejarah dari kerajaan Thailand di dalamnya.
Tapak Raja Thailand di Curug Dago
Ada dua buah batu tulis bekas peninggalan Kerajaan Thailand pada tahun 1818 M. Dalam pos berbentuk rumah berwarna merah, terdapat sebuah batu tulis yang kedua—yang ditulis oleh Raja Thailand ke-V. Sedangkan agak jauh lagi adalah batu tulis satunya, yang pertama—yang ditulis oleh Raja Thailand ke-VII.
Itulah yang dijelaskan Teguh, salah satu penjaga cagar budaya ini. Menurut tafsiran ahli, dua prasasti merupakan peninggalan dari Raja Rama V atau Raja Chulalonkorn dan Raja Rama VII atau Pradjathipok Pharaminthara yang berasal dari dinasti Chakri dan pernah berkunjung ke Curug Dago.
Meski begitu sedikit pengunjung yang tahu sentuhan Negeri Gajah Putih ini. Pengunjung kebanyakan berfokus pada air terjunnya saja. “Baru tahu kalau ada ini (prasasti Thailand) juga setelah ngobrol sama penjaganya,” kata Resya, salah satu pengunjung hari itu.
Bagai surga yang tak dirindukan
Beberapa orang yang saya tanya perihal Curug Dago mengaku tidak menahu soal adanya air terjun di Dago, Bandung. Padahal mereka ini yang sudah lama tinggal di Kora Kembang. Letaknya pun terhitung tak terlalu jauh dari jantung kota Bandung. Pun turis-turis sering melewati kawasan ini untuk wisata alam.
Seperti yang tertulis dalam ragamwisata.com, lokasinya yang dapat dikatakan tersembunyi karena berada di daerah Bukit Dago yang termasuk dalam kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda, Bandung, dan kurangnya promosi wisata membuat air terjun ini semakin sedikit pengunjungnya.
“Biasa aja sih soalnya airnya enggak bening dan pendek curugnya,” ungkap Zaki, salah satu warga Bandung yang pernah mengunjungi tempat wisata ini.
Air yang keruh ini disinyalir merupakan dampak dari pencemaran. Permukiman serta pabrik-pabrik pengolahan dituding pula sebagai isu penyebab hutan di Curug Dago tergerus. Pun kesan yang ditinggalkan selain airnya adalah fasilitas yang dibilang tak sebanding dengan ‘hiburan’ yang didapat. “Sekitar lima belas ribu kemahalan, sih. Kalau biaya tiket segitu, masih kurang fasilitasnya,” kata Resya.
Banyak pula dari pengunjung yang tidak tahu kalau terdapat unsur sejarah di Curug Dago. Prasasti yang jadi bukti luput begitu saja. Pos merah yang letaknya tak jauh dari air terjun terbilang tak terawat sehingga pengunjung pun malas masuk untuk tahu ada apa di dalamnya. “Pos bangunan yang merah itu juga enggak tahu buat apa. Terlihat enggak terawat. Tangga menuju ke sana pun banyak yang harus diperbaiki,” cerita Resya.
Kekayaan alam yang letaknya dekat dengan perkotaan berpotensi sebagai wisata ‘pelarian’ dari penatnya hingar bingar kota justru kurang meninggalkan kesan ‘ingin datang lagi’ ke pengunjung-pengunjungnya. Baik masyarakat atau pemerintah kurang bersinergi membuat cagar budaya ini lestari dan kaya edukasi. “Kalau pengembangannya serius mah bisa jadi bagus dan strategis, dekat kota,” kata Zaki. (ded/ded)
Sumber:
No comments:
Post a Comment