Wednesday, May 2, 2018

Sejarah Maritim

oleh Dr. Mumuh Muhsin Z, M.Hum. (Sejarah UNPAD)

(Makalah pada Kegiatan Pembekalan Teknis Penelitian yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 23 Februari 2015 bertempat di aula Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung Jalan Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung.

Pengantar
Terdapat dua istilah yang digunakan untuk melabeli sebuah negara dilihat dari kondisi geografisnya. Pertama adalah negara pesisir atau maritim; kedua adalah negara pedalaman atau agraris. Indonesia termasuk negara maritim karena dilihat dari konstruksi kewilayahannya, yang terdiri dari 17.000 buah pulau dan garis pantai sepanjang sekira 81.000 km. Selain dari faktor geografis, dari faktor historis pun sejarah Indonesia identik dengan sejarah maritim.

Kondisi Indonesia seperti itu sangat ironis jika dilihat realitas lainnya yang sama sekali sangat berlawanan secara diametral dengan karakter kemaritiman. Atau, dengan kata lain, realitas yang ada tidak berkorelasi positif dengan sifat-sifat kemaritiman. Misalnya saja, contoh sederhana: produktivitas ikan laut, prosentase penduduk sebagai konsumen ikan laut, identifikasi masyarakat nelayan sebagai masyarakat miskin. Belum lagi bila ditunjukkan contoh-contoh lain yang lebih serius. Tidak sampai di situ, “pengasingan” terhadap dunia kelautan pun ternyata dilakukan oleh ilmu sejarah.

Ketika kajian sejarah sudah mulai melepaskan diri dari hal-hal yang bersifat konvensional pun dan beralih ke kajian sejarah melalui pendekatan ilmu-ilmu sosial, tetap saja belum banyak mengubah nasib sejarah maritime. Tema sejarah ini belum banyak dihampiri sejarawan. Beberapa sejarawan yang punya perhatian besar terhadap sejarah maritime adalah, hanya menyebut beberapa: F.A Sutjipto, A.B. Lapian, Susanto Zuhdi, Gusti Asnan, Singgih Tri Sulistiyono, E.L.Poelinggomang, dan sebagainya.

Secara kelembagaan, saya kira, baru Program Studi Sejarah Universitas Diponegoro yang secara serius mengembangkan penelitiannya ke arah sejarah maritim. Program Studi Sejarah Universitas Padjadjaran hampir belum memberi perhatian terhadap sejarah maritim.

Arti Penting Sejarah Maritim
Pentingnya penghampiran terhadap sejarah maritim sesungguhnya bukan sekedar persoalan “keadilan historiografi”, tapi lebih daripada itu. Indonesia sekarang lebih memosisikan diri sebagai negara agraris. Diversifikasi makanan pun lebih berorientasi pada makanan agraris. Aktivitas perekonomian dan komoditas perekonomian pun lebih mengandalkan darat daripada laut. Padahal luasan wilayah Negara Republik Indonesia itu hampir dua per tiganya adalah lautan.

Realitas lain menunjukkan gejala kritis dalam berbagai hal. Misalnya saja berkurangnya luasan lahan sawah akibat dari perubahan fungsi lahan tanah. Hal ini berimplikasi banyak, salah satunya adalah potensi krisis pangan. Perbandingan ketersediaan lapangan kerja dengan jumlah pencari kerja yang tidak seimbang. Hal ini berimplikasi pada terus meningkatnya angka pengangguran yang selanjutnya berpengaruh pada peningkatan angka kriminalitas. Selain itu, potensi terjadinya disintegrasi bangsa selalu menghantaui negeri ini.

Oleh karena itu, salah satu solusi mengatasi berbagai persoalan bangsa adalah memberi perhatian yang wajar dan proporsional terhadap sektor maritim. Bahkan ada yang mengusulkan agar Indonesia menjadi negara maritim, bukan negara agraris lagi.

Bila hal itu disepakati maka untuk membangun negara bahari diperlukan landasan budaya dan nilai bahari yang kuat. Untuk membangun “Indonesia Baru” sebagai negara bahari peran sejarah maritim sangat penting. Melalui pengkajian terhadap sejarah maritim diharapkan terjadi penanaman nilai-nilai budaya bahari dan memperkuat integrasi bangsa. Dikaitkan dengan kepentingan praktis, sejarah maritim dapat mengungkap setidaknya dua persoalan. Pertama seberapa jauh nilai-nilai integrasi bangsa ditanamkan dalam jiwa segenap generasi muda bangsa Indonesia. Kedua adalah sosialisasi dan enkulturasi nilai-nilai budaya bahari kepada segenap anak bangsa.

Urgensitas Sejarah Maritim
Sekait dengan arti pentingnya sejarah maritim, maka kehadiran jenis sejarah ini jadi makin mendesak dengan beberapa pertimbangan (Sulistyo, 2009). Pertama, secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Kawasan yang demikian luas ini dihuni oleh berbagai kelompok etnis yang selama berabad-abad telah menggunakan laut sebagai wahana untuk saling berkomunikasi. Sejarah maritim akan menjadi wahana untuk membangkitkan kesadaran mengenai proses-proses historis yang telah mengantarkan terbentuknya apa yang kemudian disebut sebagai nasion Indonesia.

Kedua, sejarah maritim sangat cocok untuk dijadikan medium sosialisasi dan enkulturasi nilai-nilai budaya bahari sebagai landasan untuk membangun negara bahari di masa yang akan datang.

Ketiga, secara substansial sejarah maritim akan mampu menyediakan wacana yang luas mengenai kemunikasi lintas budaya antara satu komunitas dengan komunitas yang lain yang menjadi dasar bagi proses integrasi di kalangan masyarakat Indonesia. Melalui laut terjadilah komunikasi lintas budaya lewat pelayaran dan perdagangan. Kondisi kebaharian pun mengandung dinamika yang menciptakan kesatuan, hubungan antar manusia dan antar bangsa lewat transportasi, perdagangan, dan pertemuan budaya. Semua ini dapat memperkokoh integrasi bangsa di masa mendatang sebagai negara bahari.

Keempat, penanaman civic education diajarkan melalui sosio-kultural dalam menanamkan nilai-nilai integrasi bangsa.

Historiografi dan pembelajaran sejarah seringkali menciptakan dan memperkuat ingatan kolektif mengenai pengalaman masa lampau yang mudah dibangkitkan kembali jika terjadi persoalan-persoalan aktual yang terjadi.

Substansi, Metode, dan Pendekatan
Baik secara historis maupun geografis, Indonesia merupakan negara bahari, maka unsur kalautan menjadi bagian yang inheren dalam sejarah Indonesia. Unsur paling penting sebagai substansi sejarah maritim adalah keseimbangan antara unsur ekspansi (perkembangan) dan integrasi dalam setiap fenomena dan proses historis.

Segi ekspansi banyak menyangkut soal perkembangan dan kemajuan yang dicapai oleh suatu komunitas tertentu baik sebagai kesatuan geografis maupun kesatuan politis. Aspek perkembangan dan kemajuan itu mengacu ke “muncul, berkembang, dan runtuhnya” kesatuan-kesatuan politik yang menyebar di wilayah kepulauan Indonesia. Integrasi mengacu pada proses pembentukan jaringan yang merefleksikan interrelasi di antara unsur-unsur sosial dalam masyarakat atau interkomunikasi lintas budaya masyarakat Indonesia. Dalam hubungan ini perlu dikaji rute perdagangan dan hubungan antarpusat-pusat perdagangan (pasar), arah perdagangan, komoditas yang diperdagangkan, dan sebagainya yang semua itu dapat menggambarkan sebuah jaringan; sedangkan jaringan sendiri merupakan faktor mendasar dari proses integrasi. Dengan demikian jaringan ini melibatkan pusat-pusat perdagangan (kota-kota pelabuhan) yang merupakan titik-titik simpul jaringan perdagangan maritim. Skala besaran atau luasan jaringan perdagangan sangat bervariasi, bergantung pada mobilitas barang, modal, dan tenaga kerja di antara daerah dan pelabuhan (Sulistyo, 2009).

Metode yang digunakan untuk meneliti sejarah maritim adalah metode sejarah dengan empat tahapan kerjanya. Keempat tahapan itu meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

Adapun pendekatan yang bisa digunakan untuk meneliti sejarah maritim setidaknya ada tiga, yaitu ekonomi, politik, dan antropologi. Untuk meneliti sejarah maritim sangat diperlukan data kuantitatif. Oleh karena itu, sejarah maritim dalam banyak hal identik dengan sejarah perdagangan atau sejarah ekonomi. Terdapat kecenderungan kuat kota pelabuhan menjadi ibu kota kerajaan. Oleh karena itu, aktivitas perekonomian di pelabuhan sangat berkait erat dengan situasi dan kondisi politik. Kota pelabuhan identik dengan heterogenitas sosial, budaya, agama. Di situ pun ada kedinamisan dan keterbukaan. Oleh karena itu pendekatan antropologis sangat diperlukan.

Simpulan
Provinsi Jawa Barat sering mengidentifikasi diri sebagai wilayah pedalaman, mungkin, hanya karena letak ibu kotanya di pedalaman. Padahal Jawa Barat mempunyai dua wilayah pantai, utara dan selatan. Wilayah Pantai Utara meliputi Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon. Wilayah Pantai Selatan meliputi Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Pangandaran. Ini kondisi sekarang. Secara historis, Batavia dan Banten pun merupakan dua pelabuhan besar yang berada di wilayah Provinsi Jawa Barat.

Hingga sekarang potensi wilayah pantai yang ada di Jawa Barat, terutama pantai selatan, belum diaktualkan. Padahal potensi ekonominya demikian besar. Guna mengoptimalkan peran wilayah-wilayah pantai itu perlu dilakukan penelitian historisnya. Masih sangat banyak lingkup spasial wilayah pantai yang belum tersentuh oleh sejarawan. Sekarang adalah saatnya untuk dilakukan.

Sumber
Sulistiyono, Singgih Tri. 2009.

“Historiografi Maritim Indonesia; Prospeknya dan Tantangan”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Musyawarah Wilayah II DIY – Jateng; diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta di Yogyakarta, 8 Mei.

Sulistiyono, Singgih Tri. 2015.

”Sumber Daya Pangan Bahari dalam Perpektif Sejarah”, dalam ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/view/3674 (diakses 21 Februari 2015).

Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id

No comments:

Post a Comment