Tuesday, May 22, 2018

Upacara Mapag Tamba Di Indramayu

Oleh:
Dra. Ria Intani T.

Indonesia terdiri atas jajaran pulau yang dihuni oleh beragam suku bangsa. Keberagaman suku bangsa menjadi penanda adanya ke-beragaman kebudayaan. Hal ini disebabkan karena tiap-tiap suku bangsa mengembangkan kebudayaannya sendiri-sendiri. Masing-masing ke-budayaan memiliki kekhasan yang wujudnya merupakan hasil bentukan dari kondisi geografis dan sejarah perkembangan masyarakatnya.

Salah satu kebudayaan yang dikembangkan oleh suatu suku bangsa adalah kegiatan upacara, yang selanjutnya karena keber-langsungannya yang menurun dari satu generasi ke generasi menjadi disebut upacara tradisional. Pada hakikatnya, upacara tradisional terbagi dalam dua katagori yaitu upacara lintasan hidup dan upacara meruwat.

Tersebutlah masyarakat Desa Tugu yang secara administratif masuk wilayah Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Mayoritas penduduk Desa Tugu “bergelut” dengan sawah. Mereka ada yang berstatus sebagai petani pemilik maupun buruh tani. Hal ini tidak mengherankan oleh karena wilayah Desa Tugu mayoritas diperuntukkan pemukiman dan disusul kemudian pesawahan. Terkait dengan mata pencahariannya tersebut, mereka mengembangkan upacara mapag tamba.

Upacara mapag tamba dilaksanakan pada saat usia padi menginjak 40 – 50 hari, dan hari pelaksanaannya adalah hari Jumat. Pada intinya, upacara mapag tamba bertujuan untuk menolak bala atau bencana yang kemungkinan dapat menghancurkan sumber mata pencaharian mereka. Bencana yang kemungkinan dapat terjadi di sawah adalah berupa serangan hama, serangan penyakit, kebakaran, banjir, dan lain sebagainya. Demi mencegah terjadinya bencana, maka diberilah sawah mereka dengan tamba (obat) yang diambil dari sembilan sumber. Sembilan sumber tamba itu adalah:
1. Mertasinga Cirebon Utara,
2. air laut,
3. air papagan,
4. air sumur warak di Sukaurip Balongan Indramayu,
5. sumur jaba,
6. air jambangan,
7. air pande,
8. air leri, dan
9. air Bengawan Cimanuk.

Secara garis besar, upacara mapag tamba terdiri atas tiga tahapan yaitu:
1. Mengambil tamba (mapag tamba),
2. menyatukan tamba, dan
3. memberi tamba ke sawah.

Masing-masing tahapan di atas dilaksanakan dalam waktu yang berbeda dan dengan kelengkapan yang berbeda pula.

Tahap pertama dilaksanakan sehari sebelum hari pelaksanaan pemberian tamba ke sawah, yakni hari Kamis. Waktunya dimulai dari pagi hari dan berakhir pada siang hari. Kelengkapannya adalah bareng. Bareng merupakan benda pusaka peninggalan leluhur yang dipergunakan untuk memberangkatkan petugas yang akan mengambil tamba sekaligus menyambut mereka saat pulang dari mengambil tamba. Perlengkapan lainnya adalah wadah tamba itu sendiri. Bisa berupa jerigen, botol, dan lain sebagainya. Petugas yang akan mengambil tamba diberangkatkan oleh kuwu dan kebayan dari balai desa dengan ditandai pemukulan bareng.

Tahap kedua dilaksanakan pada hari yang sama dengan tahap pertama, namun waktunya pada malam hari (Kamis malam). Secara garis besar kelengkapannya berupa paso (ember bermulut lebar dan tanpa pegangan), gayung, bumbung (wadah tamba yang terbuat dari bambu) berjumlah empat belas, klaras (daun pisang yang dikeringkan) sebagai tutup bumbung, dan sesaji tamba. Selain itu juga disiapkan suguhan berupa longsong. Rangkaian acaranya yaitu:
- Tamba dari sembilan sumber disatukan oleh kebayan.
- Sambutan Kuwu Tugu terkait dengan pelaksanaan mapag tamba.
- Tahlil dan doa bersama dipimpin oleh lebe.
- Tamba diisikan ke dalam bumbung oleh kebayan.
Tahap ketiga dilaksanakan pada keesokan paginya, yakni hari Jumat. Kelengkapannya berupa bareng, binang, dan bumbung. Rangkaian acaranya:
- Empat belas orang petugas pembawa tamba dengan berpakaian binang diberangkatkan oleh kebayan dari balai desa.
- Empat belas petugas terbagi menjadi tujuh tim, menuju wilayah tugas masing-masing.
- Di wilayah tugas masing-masing, tamba dikucurkan.
- Mengakhiri pelaksanaan upacara, dipergelarkan wayang kulit.

Sumber:
Makalah disampaikan pada kegiatan Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan yang diselenggarakan oleh BPSNT Bandung di Bandarlampung 23 Maret 2011

No comments:

Post a Comment