Oleh: Euis Sariah (Sarche)
Lasywi terbentuk pada tanggal 12 September 1945 di Bandung dan bermarkas di Gedung Mardi Hardjo di Jl. Pangeran Sumedang, sekarang Jl. Otto Iskandardinata. Lasywi Mardi Hardjo langsung di bawah pimpinan dan pengawasan Ibu S. Yati Arudji Kartawinata, sebagai pelindung dan penasehat adalah Bapak Arudji Kartawinata dan Bapak Omon Abdurachman dimana kedua beliau waktu itu menjabat sebagai Komandan divisi III dan sebagai Komandan Resimen VIII TRI yang serlanjutnya menjadi TNI.
Para pelatihnya adalah dari Resimen VIII, Batalion II (Batalion Sumarsono), BKR (Badan Keamanan Rakyat), KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) dan Pemuda PTT, yang memberi pendidikan Rohani adalah Ibu Pardjaman dan Ibu Aliratman yang sekarang telah tiada.
Mula-mula Lasywi terdiri dari para pelajar puteri dari berbagai sekolah menengah yang ada di Bandung dan beberapa ibu-ibu dari Fujingkai dan beberapa yang sudah bekerja pada jaman penjajahan rata-rata lulusan HIS, kelas pertama MULO bahkan ada yang sudah selesai HIK.
Setelah banyak yang bergabung, maka dibentuklah pasukan-pasukan yang terdiri dari dua seksi (peleton) yang membawahi 8 (delapan) regu yang menjadi komandan regu atau seksi adalah kami-kami yang pada waktu itu (Jaman Jepang) telah duduk di kelas akhir SMP. Kami yang jauh sebelum Bandung Lautan Api sudah bergabung dengan Lasywi sempat mendapat latihan dan gemblengan seperti para pejuang lainnya.
Untuk lebih jelasnya Lasywi yang bermarkas di Gedung Mardi Hardjo beranggotakan hanya 90 (sembilan puluh) orang ditambah 10 (sepuluh) orang bagian administrasi, pengawas asrama dan pengawas dapur. Selain itu kami sudah mempunyai Undang-undang Dasar Lasykar Wanita dan lagu-lagu Perjuangan serta Mars Lasywi.
Banjir Cikapundung, anggota kami sudah diterjunkan. Daerah Tegalega dihantam Howitser membantu mengangkat korban, pemboman Cicadas membantu mengangkut korban sampai selama tiga hari, dimana hari ketiga korban sudah membusuk. Di waktu senggang mendapat latihan diantaranya EHBO (Eerstehulp Voor Ongelukken) baris berbaris, bongkar pasang senjata (Karabyn Mouser sampai Water Mantel) beladiri tangan kosong, anggar (Floret, Sabel) dan membaca kode morse dan bendera.
Selain itu latihan penyerbuan dan bergerilya bersama-sama dengan anggota Batalion II, kadang-kadang malah ikut patroli ke daerah musuh. Dua anggota kami dengan beberapa pemuda pejuang ditawan tentara Inggris waktu hendak menyusup ke utara di Fokers weg, dan bisa bebas kembali setelah di tukar dengan tawanan musuh setelah di sekap sekitar tiga bulan.
Bandung Lautan Api kami mundur ke Ciparay (Cipaku) dan membentuk dapur perjuangan, dimana para pejuang mendapat ransum. 4 (empat) Brigade (regu) dipencar diperbantukan di lima batalion dari batalion I sampai batalion V, waktu kami ditarik ke induk pasukan, asrama kami kena sasaran Houwitser dari Dayeuh Kolot. Beberapa anggota kami kena sasaran pecahannya, korban pasukan lain dan penduduk tak terhitung banyaknya, seorang anggota kami waktu menolong korban kena pecahannya di bagian paha.
Kami mundur ke Majalaya dan meneruskan kegiatan kami di pasukan. Sdri Willy bertugas sebagai Ordonans, dengan berkendaraan roda kuda, menerima oprache (peritah) dari Mp III. Awal Agustus 1946 Majalaya diserang kapal terbang musuh, dijatuhi bom dan dilempar granat dari atas, waktunya bersamaan dengan Cicalengka dan Tasikmalaya. Markas kami hancur kena sasaran bom. yang mengakibatkan lima anggota kami gugur dan dua orang cedera kena pecahan bom karena waktu itu penulis sebagai komandan seksi (peleton) sedang piket. Dua anggota asal Jabar dikuburkan di Majalaya dan yang dari Jogja langsung disemayamkan di taman makam pahlawan Semaki dan satu orang di Semarang, kemudian asal Jawa Barat di semayamkan di taman makam pahlawan Cikutra. Kami mundur ke Wangisagara.
1947 Lasykar wanita tergabung pada RTP (Resimen Tentara Pejuang) dibawah pimpinahn Bapak Sutoko. Tahun 1947 Pak Arudji diangkat menjadi Menteri Muda Pertahanan di Jogja, Ibu Arudji otomatis ikut suami dan membawa 2 (dua) regu Lasywi ke Jogja, di Jogja kami ditempatkan di rumah Ibu Hadinegoro di Bintaran tengah, banyak gadis dari Jogja bergabung dengan kami sampai dapat dibentuk satu seksi. Kami latih mereka seperti apa yang kami dapatkan di Jawa Barat (Bandung) karena tidak sibuk seperti di Jawa Barat kami diperkenankan melanjutkan sekolah ke sekolah menengah tinggi di Jogja.
Mulai perebutan pasukan Lasywi antara Ibu Arudji dan Ibu Jo Chairul Saleh, pasukan dibagi dua yaitu Lasywi asal Jawa Barat tetap di bawah pimpinan Ibu Arudji dan pasukan baru di bentuk. Diambil paksa oleh Ibu Chairul Saleh yang menamakan dirinya Wapp (Wanita Pembantu Perjuangan). 1947 di Solo ada juga pasukan wanita yang menamakan dirinya LPI (Laskar Putri Indonesia) di pimpin Ibu Kumpul. Waktu Clas pertama kami masih di Jogja.
Akhir 1948 ada yang ikut dengan pasukan atau dengan Famili pulang ke Jawa Barat. Saya sendiri ikut dengan beberapa pejuang dari Jogja sampai Gombong jalan kaki, yang kami tempuh selama tiga hari dua malam siang jalan dan malam menginap di Pos Polisi sambil menghindari dari rampok dan anjing Nica.
Tuhan melindungi kami sampai ditujuan alhasil dari pasukan Lasywi 5 (lima) orang gugur 4 (empat) orang cedera dan satu versnist (hilang). Di Bandung Lasywi kumpul kembali dan minta petunjuk Bapak Omon Abdurachman bekas Komandan Keamanan Daerah Resimen VIII yang berkedudukan di Bandung sebagai Komandan Keamanan Daerah. Kami bertanya ”Apa tugas kami selanjutnya?” Nasihat beliau bahwa kami harus membantu bergerilya di Bandung dan sekitarnya dengan mencari dan mengumpulkan obat-obatan dan sekedar uang. Mulailah kami sekolah lagi ada yang masuk AMS, VHO (Voorhereiding Voor Hoger Onderwis) dan saya sendiri dengan Ibu Nani Djuhro ke Kweek School Nyeuwesti. Selessai tahu 1950, setelah itu berumah tangga ikut suami. 1970 berkumpul kembali sebagai veteran. Kembali aktiv sebagai pengurus Kowaveri Jabar, saya sendiri diperbantukan di BPD KCVRI Jabar hingga saat ini.
Tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada bapak dan saudara yang sudah melatih kami dan menggembleng kami untuk mengenal disiplin hingga sampai sekarang membekas pada jiwa raga kami dan kami bisa menerapkan pada anak-anak kami, selain itu kami mempunyai yayasan Lasykar Wanita RI dan Panti Jompo di Jalan Lumbung Caringin.
Demikian sekilas riwayat kami semoga dapat diambil hikmahnya dan menjadi contoh untuk generasi sekarang bahwa yang paling penting untuk saat ini adalah rasa persatuan agar dapat mencapai tujuan kita untuk menuju Indonesia yang damai dan tentram.
Wassalam dan terima kasih
Bandung 5 Agustus 2010
EUIS SARI’AH SARTJE
NPV. 09. 018. 770
Sumber:
Makalah disampaikan pada kegiatan Temu Tokoh yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tanggal 5 Agustus 2010.
No comments:
Post a Comment