Di Indonesia gerakan Ikhwanul Muslimin yang terorganisir dalam Partai Keadilan Sejahtera juga melakukan hal yang sama. Kiai, habaib dan Ulama yang tidak sejalan dengan mereka, akan diberi sebutan sebagai liberal, sekuler, syiah antek asing dan sebagainya. Kiai NU kenyang dengan sebutan ini. Dalam kasus Kiai Yahya sebutan ditambah jadi penghianat dan cecunguk.
Disinilah kesalahan fatal gerakan ikhwanul muslimin Indonesia.
Mereka adalah sekumpulan politisi, bisnismen dan aktivis yang bersemangat keagamaan tinggi, yang tidak menguasai ilmu lahir dan batin keislaman. Belajar dari pamflet bukan dari kitab, dari penceramah bukan dari ulama, tapi kemudian merasa paling mengerti Islam.
Keulamaan ulama al Azhar yang tidak diragukan lagi saja disebut liberal karena tidak bersesuaian dengan agenda politik mereka yang biasanya menggunakan bahasa sektarian dan intoleran untuk mengumpulkan dukungan politik. Kasus ini contoh bahwa Ikhwanul Muslimin punya madhab Islam yang tidak sesuai dengan suara ulama mayoritas dan ahlu sunnah wal jamaah.
Merubah Islam
Politisi dan aktivis Islam yang bukan ahlinya kemudian menafsirkan Islam sendiri sesuai maunya sebenarnya telah merubah dan merusak wajah Islam sendiri yang diajarkan oleh para ulama melalui sanat keilmuan dan akhlak yang kuat sambung menyambung hingga Rasululloh.
Coba dicek bagi yang aktivis ikhwanul muslimin yg berafiliasi ke partai pks yang mengajarkan ilmu agama. Apa disiplin ilmunya, darimanakah dia berguru siapa gurunya.
Ilmu agama itu memang banyak, bisa diambil dari buku, WA, internet, tapi yang namanya berkah itu sedikit. Ilmu yg berkah dapat diambil dari ulama ahli khoir, ulama yang khosyyatulloh. Bukan dari politisi atau usyad karbitan.
Karena tidak berkah wajar bila kita mendapati mengapa aktivis islam tapi penyebar kebencian dan pemicu keresahan masyarakat. Agama dijadikan alat memuaskan syahwat politik kekuasaan seolah olah berasa jihad. Tidak ada ulama yang mengajarkan seperti ini.
Tidak sedikit yang hasil kaderisasinya kemudian disambar oleh organisasi teror. Meski tidak pro kekerasan, ikhwanul muslimin juga secara tidak sengaja ikut memprepare seorang masuk level satu dalam 6 tingkatan bagaimana seseorang memjadi teroris. Yaitu ketika seseorang terbangun mindset "we – they" jadilah ia masuk level 1 yang bisa dimanfaatkan kelompok tidak bertanggungjawab untuk dinaikkan levelnya. Ketika si pemuda kemudian terlibat teror dan tertembak mati, dimana tanggung jawabnya?
Ikhwanul Muslim memang sengaja merekrut yang muda karena pemuda menemukan jatidiri dalam menantang pada otoritas: ulama, orang tua, pemerintah.
Ulama mayoritas ya adem kalem. Ikhwan kemudian menawarkan sesuatu yang heroik: ini musuh Islam, ini bidah ini kafir, serang sana serang sini. Pemuda kemudian merasakan menrmukan jatidirinya dengan Islam yang diajarkan oleh politisi.
Saat pilkada dan pilpres kita dapati bagaimana aktivis Islam di kampung dan kota mengeshare bahwa muslim dan masjid harus berpolitik karena bila tidak nanti politik diisi oleh orang orang sekuler yang anti Islam.
Pandangan seperti ini bukanlah pandangan ulama tentang bagaimana masjid itu digunakan. Tentang banyak kasus aktivis ikhwan lebih banyak memakai fatwa politisi mereka sendiri yang sebenarnya tidak menguasai lahir dan batinnya ilmu keislaman.
Islam Madhab Ikhwan
Disinilah ikhwan sejatinya telah merubah dan merusak agama sesuai kehendak politiknya. Sebutlah islam madhab mereka adalah “islam madhab ikhwan”
Islam madhab ikhwan bukan Islam ahlus sunnah wal jamaah yg biasa kita kenal. Coba bandingkan islam madhab ikhwan di sekeliling anda dengan ahlussunnah wal jamaah pada umumnya.
Hati hatilah dari mana mengambil ilmu agama. Untuk masalah kesehatan saja kita merujuk dokter spesialis mengapa masalah akhirat kita menyerahkan pada yang bukan ahlinya.
bangkitmedia.com
Tulisan asli berjudul “Kesalahan Ihwanul Muslimin” yang ditulis oleh Moh Yasir Alimi, Pengajar Antropologi agama di UNNES
No comments:
Post a Comment