Oleh Euis Thresnawaty S.
A. Pendahuluan
Munculnya Gerakan Kebangsaan dan Nasionalisme di Indonesia mendorong kaum perempuan untuk ikut terjun dalam organisasi bersama kaum perempuan untuk ikut terjun dalam organisasi bersama kaum lelaki memperjuangkan bangsanya menjadi bangsa yang utama dan mulia. Pada saat itu perempuan telah ikut berperan , berusaha, dan bertanggung jawab atas kemajuan bangsanya.
Keikutsertaan kaum perempuan dalam organisasi, sebenarnya sudah ada sebelum zaman pergerakan, misalnya Paguyuban Pasundan Istri (PASI). Walaupun bentuk dan kegiatannya berbeda, tetapi tujuannya sama. Mereka beranggapan bahwa kaum perempuan berpengaruh besar dalam kehidupan bermasyarakat. Dahulu perempuan berperan tidak melebihi apa yang menjadi kodratnya, dan merekapun menerima keadaan tersebut. Pada zaman pergerakan, idealisme kaum perempuan mulai bangkit dan diwujudkan dalam masyarakat tanpa meninggalkan kodratnya.
Selama ini peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan masih jarang terungkap kepermukaan. Padahal tidak sedikit dari kaum perempuan yang turut berperan dalam kancah perjuangan, misalnya dalam perjuangan fisik: Tjut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang, dan Tjut Muthia dapat dijadikan contoh. Tetapi ada satu peranan yang unik yang hanya dimiliki kaum perempuan dan sangat berarti bagi kelangsungan suatu perjuangan. Artinya dengan nkehadiran dan kasih sayang perempuan tersebut mampu membangkitkan semangat juang orang lain, misalnya pasangannya. Beberapa contoh perempuan yang berjasa bagi negaranya karena peranannya dalam membangkitkan semangat juang pasangannya, diantaranya Evita Peron dari Argentina yang dengan gigih membantu perjuangan suaminya, Juan Peron, atau Eva kekasih Napoleon Bonaparte dari Perancis. Kehadiran perempuan-perempuan tersebut tentu saja tidak dapat dikecilkan artinya, karena mereka telah mampu menjadikan lelaki-lelaki yang dikasihinya berhasil mengukir nama besar bagi bangsanya.
Adalah Soekarno, Sang Proklamator dan Presiden pertama RI, menuangkan pandangan dan kekagumannya tentang peranan kaum perempuan dalam kancah Revolusi Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul “Sarinah”, Soekarno menganggap kaum perempuan mempunyai peranan yang menentukan dalam perjuangan kemerdekaan. Gambaran Soekarno ini tampaknya didasari oleh pengamatan dan pengalamannya terhadap peranan kaum perempuan. Dan karena peranan tersebut dikaitkan dengan perjuangan kemerdekaan, maka bisa disebutkan bahwa kaum perempuan yang dimaksud adakah kaum perempuan Indonesia. Pandangan inilah yang menempatkan perempuan Indonesia sejajar dengan perjuangan bangsa. Disadari atau tidak, perempuan yang sesuai dengan gambarannya tersebut pernah ada dalam kehidupan Soekarno. Diantara sekian perempuan yang mendampingi Soekarno, tanpa mengecilkan arti yang lainnya, Inggit Garnasih merupakan salah satu gambaran sosok perempuan tersebut. Dengan segala ketulusannya ia mendampingi Soekarno pada langkah-langkah awal perjuangannya untuk membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan. Seperti yang diungkapkan Ramadhan K.H. dalam bukunya Kuantar Ke Gerbang bahwa perempuan Sunda ini ibarat induk ayam yang sayapnya selalu siap memberi perlindungan pada saat-saat kesulitan seorang Soekarno.
B. Riwayat Hidup Inggit Garnasih
Garnasih, demikian nama yang diberikan orang tuanya, dilahirkan di Desa Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada tanggal 17 Pebruari 1888. Ia merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Arjipan dan Amsi, dua saudara kandungnya adalah Natadisastra dan Moertasih. Sejak kecil ia telah memperlihatkan tanda-tanda kecantikannya disamping tingkah laku dan budi pekerti yang halus sehingga banyaak disukai orang.
Adapun kata Inggit yang menjadi tambahan nama depannya ternyata memiliki riwayat tersendiri. Pada saat mudanya, karena ia banyak disukai orang, kemana saja pergi baik ke pasar, ke alun-alun atau kemana saja, pulangnya ia selalu membawa sesuatu. Pemberian itu bisa berbentuk uang atau barang. Dalam bentuk uang jumlahnya tidak tanggung-tanggung bisa mencapai bilangan yang cukup besar untuk ukuran saat itu yaitu “seringgit”. Karena keadaan itulah ia dijuluki “si ringgit”, kemudian menjadi “inggit”, hingga akhirnya melekat menjadi nama Inggit Garnasih.
Sebelum menikah dengan Soekarno atau Bung Karno, ia pernah menikah dengan Kopral Nataatmadja, tetapi rumah tangganya tidak bertahan lama. Pada tahun 1961 menikah lagi dengan Haji Sanoesi seorang saudagar yang cukuip kaya dan merupakan tokoh Sarekat Islam Jawa Barat. Inggit pun tercatat sebagai anggota Sarekat Islam. Meski tidak ikut aktif berjuang tetapi ia sangat mendukung perjuangan suaminya saat itu. Bersama Sanoesi ia hidup di tengah suasana melawan berbagai aturan pemerintah Hindia Belanda. Gerakan Kebangsaan Sarekat Islam yang diikuti Inggit adalah sebuah organisasi perjuangan yang bertujuan melawan kepincangan dan ketidakadilan yang menimpa rakyat Indonesia, baik yang datang dari pemerintah kolonial Belanda, saudagar-saudagar Cina maupun dari kalangan bangsa sendiri yang bekerja sebagai pegawai pemerintah. Sarekat Islam berkembang dengan cepat karena dipimpin oleh alim ulama dan para kiyai yang dekat dengan rakyat. Keanggotaannya terbuka bagi semua lapisan masyarakat.
Pada awalnya kehidupan rumah tangga Inggit Garnasih dan Sanoesi tenang dan tentram. Tetapi sejak kehadiran pemuda Soekarno dalam kehidupan mereka pada tahu 1921, rumah tangga mereka mulai bermasalah. Ternyata pemuda Soekarno yang indekos di rumah Sanoesi telah jatuh cinta kepada induk semangnya, demikian pula sebaiknya. Saat itu Soekarno masih menjadi mahasiswa di Technische Hoogeschool atau ITB sekarang.
Ketika mengetahui terjadi ‘sesuatu’ antara Soekarno dan istrinya, dengan berbesar hati Sanoesi memilih mundur. Ia segetra menceraikan Inggit dengan syarat Inggit hanya boleh menikah dengan Soekarno, bukan dengan orang lain. Sanoesi berharap Inggit akan mampu mendampingi, mendukung, dan membangkitkan semangat perjuangan Soekarno. Tahun 1923 Inggit menikah dengan Soekarno, pemuda yang usianya 15 tahun lebih muda darinya.
Selanjutnya terjadi perubahan dalam kehidupan Inggit. Dulu ia bersuamikan Haji Sanoesi yang berpenghasilan cukup, bahkan terhitung kaya. Sekarang ia harus siap mendampingi Soekarno yang masih mahasiswa bahkan belum mempunyai penghasilan. Tetapi semuanya dihadapi Inggit dengan ikhlas. Inggit merasa hal itu merupakan kewajibannya sebagai seorang istri, ia terus mendorong semangat Soekarno suaminya untuk segera menyelesaikan sekolahnya agar bisa meneruskan perjuangan dengan lebih tenang.
Karena perkawinannya tidak dikaruniai keturunan, maka mereka sepakat mengangkat Ratna Djuami ketika usianya masih 40 hari sebagai anaknya. Ratna Djuami merupakan putri dari kakak Inggit yang bernama Moertasih yang lahir pada tanggal 4 Mei 1923. Ketika mereka berada di Endeh, Pulau Flores dalam rangka pembuangan politik mereka pun mengangkat satu anak lagi yaitu Kartika, putri dari Atmosudirdjo, yang lahir pada tanggal 28 Februari 1928. Sedangkan Fatmawati yang kelak menjadi istri Soekarno, merupakan anak angkat Ingghit ketika ketika mereka berada di Bengkulu.
Pasangan Soekarno menempati sebuah rumah kontrakan yang terletak di Jalan Jaksa, tidak begitu jauh dari alun-alun Bandung. Secara fisik rumah kontrakannya hanya rumah panggung yang sederhana, tetapi justru paling sering didatangi tamu yang tidak lain merupakan teman-teman seperjuangan Soekarno. Bahkan di antara mereka ada yang menetap di rumah Inggit. Inggit sama sekali tidak membuat peraturan ketika menampung teman-teman seperjuangan suaminya. Ia memahami betul keadaan ekonomi teman-teman Soekarno. Untuk menutupi kebutuhan rumah tangga, Inggit membuat ramuan-ramuan tradisional, bedak, atau menjahitkan baju orang lain. Kadang ia membeli bahan sendiri dan setelah menjadi pakaian lalu dijajakannya. Cara-cara itulah yang ditempuh Inggit untuk menutupi kebutuhan hidup. Sebab bila ia tidak berusaha sendiri, darimana kebutuhan rumah tangga dapat teratasi. Saat itu Soekarno memang kepala keluarga, namun sesungguhnya kemudi rumah tangga berada di tangan Inggit. Ia membebaskan suaminya untuk aktif dalam pergerakan tanpa harus banyak mencurahkan waktu untuk mencari nafkah.
Ketika Soekarno sudah menjadi insinyur dan mendirikan Biro Tehnik, Inggit tetap meneruskan usahanya dalam bidang kosmetik tradisional, yaitu jamu dan bedak. Dipihak lain, keterlibatan Soekarno dalam biro tampaknya tidak maksimal. Soekarno lebih banyak mencurahkan waktu untuk kegiatan pergerakan dan partainya daripada urusan bidang kearsitekan.
C. Pengobar Semangat
Inggit, tidak salah lagi adalah pengobar semangat pemuda Soekarno dalam perjuangan menjelang kemerdekaan Indonesia. Pada saat Soekarno lelah dan frustasi akibat tekanan Belanda, bahkan ketika Soekarno mulai ragu apakah perjuangannya akan berhasil dan diteruskan, Inggit sering mengucapkan kata-kata “jadilah lalaki lalanang jagat. Jangan kalah, jangan mundur dan jangan putus asa. Biar, tak apa sebentar dipenjara, tidak akan ada artinya penderitaan ini dibandingkan dengan cita-cita besar yang sedang diperjuangkan”. Inggit begitu yakin, Soekarno akan menjadi pemimpin bangsa Indonesia, dan memang ia mampu mengantar Soekarno sebagai pemimpin besar.
Ketika Soekarno dipenjara di Banceuy, lalu dipindahkan ke Sukamiskin, Inggit terkadang ditemani Ratna Djuami putrinya selalu rajin menengok Soekarno untuk memberi kekuatan dan dukungan berupa semangat. Demikan juga ketika Soekarno dipenjara di Sukamiskin, ia rajin menengok suaminya meskipun harus menempuh perjalanan yang jaraknya belasan kilometer, terkadang harus ditempuh dengan berjalan kaki apabila kehabisan uang. Setiap kali membesuk, Inggit selalu membawa makanan untuk suaminya. Sesuatu yang wajar dan merupakan kewajiban seorang istri untuk berbuat demikian. Namun sebetulnya dibalik makanan yang dikirim tersebut kadang-kadang tersimpan “sesuatu” yang disembunyikan.
Pada suatu saat ia memasukkan beberapa keping uang logam ke dalam kue Nagasari yang akan dikirimkan pada Soekarno, sesuai permintaannya. Pada kesempatan lain ia juga berhasil mengirimkan buku-buku dan beberapa naskah. Untuk mengelabui penjaga, Inggit menempelkan buku atau naskah tersebut pada perutnya lalu diikat dengan pending. Pledoi pembelaan Soekarno yang membuat heboh dunia internasional yaitu “Indonesia Menggugat”, kalau bukan karena Inggit yang berupaya keras mensuplai buku-buku dan bacaan lainnya pada Soekarno belum tentu terwujud. Inggit juga merupakan saksi beberapa peristiwa yang terjadi di sekitar Soekarno, diantaranya saat Soekarno merumuskan terbentuknya Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) dan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928.
Untuk melengkapi baktinya pada suami dan dukungannya pada perjuangan Pergerakan Indonesia, pada tahun 1934-1938 ia turut suaminya dibuang ke Kota Endeh di Pulau Flores, dan pada tahun 1938-1942 ke Kota Bengkulu di Pulau Sumatra. Menurut Profesor S.I Poeradisastra, bisa dibayangkan seandainya B.C de Jonge membuangnya ke Endeh (1934) dan A.W.C. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer ke Bengkulu (1938) sedangkan Inggit minta cerai, pasti Soekarno bagai elang rajawali yang hanya punya satu sayap.
D. Memilih Mundur
Setelah melalui perjalanan hidup yang panjang selama 20 tahun mendampingi Soekarno, akhirnya Inggit memilih mundur dari kehidupan Soekarno. Ia memilih cerai dari pada dimadu ketika Soekarno mengutarakan keinginannya akan menikahi Fatmawati yang masih anak angkatnya sendiri. Tahun 1943 Inggit Garnasih dan Soekarno resmi bercerai. Sebenarnya, Soekarno merasa berat harus berpisah dengan Inggit yang telah setia mendampinginya dikala susah. Tetapi pendirian Inggit sangat kukuh dan dengan tegas tetap memilih cerai daripada dimadu. Pada masa jayanya Soekarno pernah mengakui bahwa Inggit adalah sumber ilhamnya, pendorong dan pemberi semangat dikala dibutuhkan. Ia berperan sebagai ibu, kekasih, dan kawan setia di masa sulit tersebut.
Inggit pasrah, walau orang tahu andilnya tidak sedikit membentuk ketegaran Soekarno. Ia pasrah pula, walau pada masa masa akhir hidupnya bersama dua pembantunya terpaksa berjualan jamu dan bedak di Bandung, padahal waktu itu, bekas suaminya pemuda yang 15 tahun lebih muda dari dirinya, adalah orang yang paling berkuasa di Republik ini. Inggit tetap dalam kesederhanaannya.
Wanita berhati mulia ini pada tahun 1962 pernah dianugrahi Satya Lencana Perintis Kemerdekaan, dan Bintang Maha Putra pada tanggal 10 November 1997 sebagai buah ketulusannya mendampingi suami dan dukungannya pada perjuangan. Ia menghembuskan nafas terakhirnya pada Jumat malam 13 April 1984, pukul 19.10 WIB di jalan Ciateul No 8 Bandung, di usianya yang ke-96 tahun. Rumah di Jalan Ciateul adalah pemberian Soekarno, mantan suaminya. Ketika bercerai dengan Soekarno ia pernah mengalami hidup berpindah-pindah dari rumah ke rumah orang yang bersedia menampungnya. Baru pada tahun 1962 Soekarno membelikan rumah tersebut. Ia meninggal disaksikan dua pembantu setianya Mak Irah, dan Mak Ikah. Meskipun ia berkeinginan dimakamkan di Cibintinu, Cigereleng, Kabupaten Bandung, tanah yang pernah mempertemukan Soekarno dengan petani Marhaen, akhirnya keluarga memutuskan untuk memakamkannya di pemakaman Caringin, Ciparay, Bandung.
E. Penutup
Inggit Garnasih, adalah sosok perempuan Sunda yang dengan kesederhanaannya mampu menjadi pemicu semangat Soekarno. Ia membaktikan hidupnya dalam kancah perjuangan pergerakan, mendampingi dan mengantar Soekarno menuju kesuksesan, meski kelak Inggit tidak menikmati hasilnya. Bahkan Profesor S.I. Poeradisastra menyatakan pendapatnya bahwa separuh dari semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam “Bank Jasa Nasional Indonesia”. Inggit merupakan sosok perempuan yang mencintai Soekarno tidak karena harta dan tahtanya, yang memberi dan tidak meminta, dan satu-satunya perempuan yang pernah menemani Soekarno di dalam kemiskinan dan kekurangan, dan mengalami hidup dalam pembuangan.
Ketika Soekarno dan kawan-kawan seperjuangannya sibuk berjuang dalam pergerakan kemerdekaan nasional, dengan keikhlasannya pula Inggit membantu. Bantuan yang Ia berikan berupa moral, yaitu dengan memberi semangat dan dukungannya, serta berupa material. Dengan kesadaran Ia membebaskan Soekarno untuk aktif berjuang tanpa harus memikirkan kewajiban sebagai seorang suami. Inggit mengambil alih kemudi ekonomi keluarganya. Barangkali pledoi pembelaan Soekarno yang menghebohkan yaitu “ Indonesia Menggugat “ tidak akan terwujud seandainya Inggit tidak nekad mensuplay buku-buku pada Soekarno saat dipenjara.
Di usia Soekarno yang ke empat puluh, lelaki yang usianya terpaut 15 tahun lebih muda dari Inggit, telah berhasil diantarkan sampai ke gerbang kemerdekaan. Inggit Garnasih menyampaikannya disana dengan selamat, tetapi Ia tidak ditakdirkan untuk memasuki Istana Merdeka bersama Soekarno. Inggit memaafkan ketika Soekarno lebih memilih menikah lagi dengan Fatmawati, anak angkatnya, karena ia menolak untuk dimadu. Disinilah Inggit membuktikan, bahwa orang tidak mutlak perlu bersekolah tinggi untuk berjiwa besar.
Perempuan kelahiran Desa Kamasan Banjaran tanggal 17 Pebruari 1888 ini meninggal di usia 96 tahun pada tanggal 13 April 1984. Ia meninggal tetap dalam kesederhanaannya di rumah pemberian orang yang sangat di cintainya, Soekarno, Jalan Ciateul No 8 Bandung. Tahun 1962 Ia dianugrahi Satya Lencana Perintis Kemerdekaan dan pada tanggal 10 November 1997 dianugrahi Bintang Maha Putra.
F. Daftar Pustaka
Buku:
K.H., Ramadhan. 1981. Kuantar ke Gerbang, Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno, Jakarta: Sinar Harapan
Nuryanti, Reni, dkk.2007. Istri-istri Soekarno. Yogyakarta: Ombak
Nuryani, Reni, dkk. 2007. Perempuan dalam Hidup Soekarno, Biografi Inggit Garnasih. Yogyakarta: Ombak
Soekarno, 1963. Sarinah, Jakarta: Panitia Penerbit Buku-buku Karangan Presiden Soekarno.
Majalah:
Ibu Inggit Garnasih, Gambar Wanoja Sunda, dalam Majalah Galura edisi November 1997.
Semut Kecil Dalam Gemuruh Kehidupan Bung Karno, dalam Majalah Kartini No. 325, April 1987.
Sumber: Makalah disampaikan pada acara Temu Tokoh yang diadakan oleh BPNB Jawa Barat di Soreang tahun 2012
No comments:
Post a Comment