Setelah hampir lima belas tahun menjadi wakil rakyat di Kepulauan Riau, Abdul Rahman (45) memutuskan untuk berhenti. Keputusan ini bukan lantaran ia tak ingin lagi menjadi wakil rakyat, tetapi karena kejanggalan proses pendaftaran calon legislatif dalam Partai Keadilan Sejahtera, partai yang selama ini menaunginya.
Tiga pekan lalu, Rahman menerima surat edaran dari Dewan Pimpinan Pusat PKS yang disampaikan lewat DPW (provinsi) PKS Riau. Isi surat edaran itu meminta loyalitas kader kepada partai yang diwujudkan dalam dua lembar formulir.
Formulir pertama adalah surat pernyataan bersedia diganti jika sewaktu-waktu diperintahkan partai; formulir kedua adalah surat pengunduran diri sebagai anggota DPRD dengan tanggal kosong. Kedua formulir itu harus ditandatangani di atas materai.
Dua formulir itu yang membuat Abdul Rahman memutuskan mundur sebagai caleg PKS. Menurutnya, keputusan DPP itu "tidak rasional", apalagi alasannya berkaca pada kasus Fahri Hamzah yang dipecat dari PKS karena dianggap membangkang perintah partai.
"Kenapa menyamakan semua orang dengan Fahri Hamzah? Cara berpikir seperti ini tidak sehat untuk organisasi,” kata Rahman kepada wartawan, 15 Juli 2018.
Abdul Rahman tidak sendiri. Ada banyak kader PKS yang akhirnya mengambil keputusan serupa. Beberapa yang berhasil dihubungi redaksi di antaranya Taslim Tamang (anggota DPRD Kabupaten Bone), Ahmad Aidin (anggota DPRD Cirebon), dan Imam Anshori (anggota DPRD Situbondo).
Alasan mereka beragam. Taslim, misalnya, menganggap surat yang diajukan DPP PKS itu tidak relevan dan bertentangan dengan aturan pengunduran diri legislator. Ia menilai ada intrik politik di balik surat itu.
Ahmad Aidin mundur karena kecewa PKS tidak lagi memberikan kepercayaan penuh. Dua formulir itu menunjukkan PKS setengah hati memberikan kesempatan padanya.
Imam Anshori memilih mundur karena menilai aturan internal PKS itu tidak adil dan membuat partai bisa sewenang-wenang mengganti legislatornya di parlemen, kapan pun partai mau. “Jadi saya nanti bisa diganti setelah jadi anggota DPRD dengan mudah oleh partai,” katanya.
Berujung Pemecatan
Surat edaran yang ditandatangani oleh Presiden PKS Sohibul Iman itu bukan hanya membuat sejumlah kader PKS mundur sebagai caleg. Beberapa kader yang tidak bersedia menandatangani dua formulir itu bahkan dipecat dan mundur dari kepengurusan PKS di tingkat daerah.
Pemecatan itu terjadi pada Imam Anshori, Ketua DPD PKS Situbondo. Setelah menyatakan diri menolak menandatangani dua formulir itu, ia kemudian dipecat. Pemecatan itu dilakukan pada Senin, 16 Juli 2018 malam, sehari sebelum penutupan pendaftaran caleg di Komisi Pemilihan Umum.
Proses pemecatan itu dilakukan melalui DPW PKS Jawa Timur. Malam itu Imam diundang untuk hadir dalam rapat, tetapi ia memutuskan absen. Dua jam setelah rapat, sekitar pukul sepuluh malam, ia menerima pemberitahuan bahwa ia sudah dipecat.
Pemecatan itu menurutnya tak sesuai dengan aturan. Seharusnya, pergantian ketua DPD hanya bisa dilakukan lewat rapat terbatas Dewan Pimpinan Tingkat Daerah, lalu hasilnya direkomendasikan kepada Dewan Pimpinan Tingkat Wilayah. Namun proses ini tidak terjadi pada pemecatannya.
Imam berkata tidak mengetahui secara jelas mengapa mendadak ia dipecat. Namun, ia menduga pemecatan ini tak lepas dari keputusannya tidak lagi maju sebagai caleg PKS dan tidak bersedia menandatangani dua formulir dari DPP PKS.
“Alibinya pergantian ketua umum DPD. Kalau dilihat dari alur ceritanya: karena saya tidak berkenan sebagai caleg PKS,” kata Imam.
Ketua DPD PKS Blitar Ali Muhsin mengambil langkah lebih berani dari Imam. Sebelum dipecat karena menolak menandatangani formulir itu, Ali dan tiga pengurus DPD PKS Blitar berinisiatif mengundurkan diri.
“Siang ini ada surat pemberhentian, malam tadi kami sudah mengirimkan surat pengunduran diri,” kata Ali, 17 Juli 2018.
Selain pemecatan, ada pula kader potensial yang akhirnya dicoret dari daftar caleg. Salah satunya Mahfudz Siddiq yang sudah hampir 15 tahun menjadi anggota DPR. Nama Mahfud tidak lagi tercatat sebagai caleg PKS meski ia tidak pernah menyatakan mengundurkan diri.
Tebang Pilih Kader
Bila dirunut, konflik internal PKS berujung pemecatan dan sejumlah caleg partai mengundurkan diri ini masih terkait konflik Fahri Hamzah dengan DPP PKS. Pada April 2016, Fahri Hamzah dipecat sebagai kader PKS karena dianggap tidak menuruti perintah partai. Pemecatan Fahri berimplikasi pada posisinya sebagai anggota legislatif di Senayan.
Fahri Hamzah saat itu masih menjabat sebagai pimpinan DPR. Menolak putusan PKS, Fahri menggugat PKS ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan menang. Kemenangan Fahri Hamzah memastikan posisinya aman di DPR dan PKS tidak bisa mencopotnya.
Konflik itu yang disebut-sebut sebagai latar belakang keluarnya dua formulir itu. Formulir itu upaya menertibkan kader-kader PKS yang dianggap pimpinan pusat "tidak loyal" terhadap partai. Namun, rupanya tidak semua kader diperlakukan sama.
Abdul Kharis Almashari, anggota DPR dari PKS yang kembali maju menjadi caleg untuk Pemilu 2019, berkata tidak pernah mengetahui ada formulir seperti itu. Sejauh ini, katanya kepada wartawan, "Saya tanda tangan pakta integritas saja."
Noval Abuzar, Ketua DPD PKS Kepulauan Seribu yang juga caleg PKS, berkata belum pernah menerima surat edaran dan formulir seperti yang diterima kader lain.
Juru bicara PKS Mardani Ali Sera mengklaim belum mengetahui ada dua formulir itu. Meski demikian, ia mengaku sudah mendengar kabar sejumlah kader PKS yang mundur sebagai caleg. “Tapi saya tidak menekuni isu itu,” ujar Mardani.
Wakil Sekjen PKS Abdul Hakim memilih bungkam. Lewat pesan singkat, ia mengatakan pada waktunya DPP PKS akan memberikan penjelasan terkait hal tersebut. “Tidak sekarang," katanya. "Kami fokus sedang siapkan pendaftaran ke KPU."
tirto.co.id
No comments:
Post a Comment