Intelektual Muda Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi menyebutkan, pemikiran politik ulama Nusantara dibagi ke dalam empat fase. Pertama, fase kerajaan. Pada fase ini, ulama menjadi qadi atau syaikul Islam pada sebuah kerajaan Islam. Mereka bertugas memberikan fatwa-fatwa terkait dengan persoalan umat, di samping memberikan nasehat kepada raja.
“Konteks historis ini yang kemudian (mendorong) para ulama Nusantara harus melahirkan pandangan politik yang sesuai dengan zamannya. Konteks pertama adalah konteks kerajaan,” kata Zuhairi di Sekretariat Islam Nusantara Center (INC), Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu (4/8).
Kedua, fase kolonial. Pada saat ini, ulama menjadi pimpinan lembaga pendidikan keagamaan seperti surau, dayah, dan pesantren. Fase kedua ini menjadi tonggak penting dalam membentuk pemikiran politik ulama selanjutnya. Karena pada fase ini banyak buku atau kitab yang diterbitkan untuk dikaji dan dijadikan sebagai rujukan.
“Sehingga kalau dikatakan pemikiran siyasah ulama Nusantara sebenarnya pada fase ini. ” alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir ini.
“Tidak mungkin penjajah takluk tanpa peran dari ulama Nusantara yang meletakkan pondasi pemikiran siyasah,” tambahnya.
Ketiga, fase kemerdekaan. Ulama-ulama Nahdlatul Ulama (NU) tidak hanya memiliki peran yang besar dalam mewujudkan kemerdekaan, tapi juga meletakkan politik kebangsaan. KH Abdul Wahid Hasyim merupakan kiai NU yang ikut serta dalam merumuskan dasar negara dan politik kebangsaan Indonesia.
“Apa yang dilakukan ulama-ulama sekarang dengan bela negara, hubbul wathon minal iman, itu adalah bagian dari fase sejarah pada masa kemerdekaan,” kata penulis buku Hadratussyekh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan ini.
Keempat, fase demokrasi. Fase ini dimulai sejak 1955 dimana ulama berperan dalam politik kebangsaan untuk mengawal Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
www.nu.or.id | Muchlishon
No comments:
Post a Comment