Gejolak muncul lewat ancaman absen memilih atau memboikot Jokowi saat Pilpres 2019 mendatang di jagad dunia maya.
Menanggapi gejolak itu, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie meminta pendukung Jokowi tidak kecewa lalu absen memilih alias golput. Grace mengakui kondisi politik bagi pendukung Jokowi tidak ideal, akan tetapi tidak boleh membuat perjuangan menjadi kontraproduktif.
“Kami tidak kecewa, kaget iya, karena prosesnya sebelum keluar nama Pak Ma’ruf, sudah ada nama Pak Mahfud. Kondisi memang tidak ideal, lebih baik kita merapatkan barisan untuk Pak Jokowi agar bisa melanjutkan pekerjaan di periode kedua,” kata Grace kepada Tirto, Jumat (10/8/2018).
Sejak awal, PSI memang mengajukan nama Mahfud MD sebagai cawapres, tetapi daya tawar PSI sepertinya tidak sekuat yang dibayangkan. Nama Mahfud tersingkir oleh Ma’ruf Amin, yang diusulkan PKB dan PPP, pada menit-menit terakhir.
Grace mengatakan Jokowi tidak punya pilihan lain lantaran tersandera presidential threshold yang mengharuskan calon presiden mendapat dukungan minimal 20 persen dari jumlah kursi di DPR. Kondisi inilah yang disalahkan PSI sebagai penyebab Jokowi tidak bisa leluasa memilih calon terbaik dan harus berkompromi.
“PSI terus terang tidak bisa, karena kami belum punya kursi dan yang lain ternyata aspirasinya berbeda. Inikan harus jalan, harus ambil keputusan, dan harus mencari titik temu di dalam koalisi,” ujar Grace.
Ketika Grace menganggap munculnya nama Ma’ruf karena upaya mencari titik temu, Ma’ruf justru berpendapat pilihan Jokowi itu atas dasar Jokowi menghargai ulama.
“Saya anggap Pak Jokowi betul-betul menghargai ulama. Penunjukan saya [sebagai cawapres], saya anggap itu penghargaan pada ulama,” ujar Ma'ruf di Kantor DPP PPP, Jakarta, kemarin.
PSI vs Ma’ruf
PSI dan Ma’ruf punya cerita perseteruan sebelum akhirnya harus tergabung dalam satu koalisi. Pada saat Pilkada DKI Jakarta 2017, PSI adalah pendukung die hard Basuki Tjahaja Purnama sedangkan Ma’ruf Amin adalah Ketua Umum MUI.
Grace dan teman-temannya mengampanyekan bahwa memilih pemimpin itu bukan karena agama, namun karena kemampuannya bekerja. Ma’ruf berposisi sebaliknya. MUI sebagai lembaga yang dipimpinnya memainkan isu agama sebagai dasar memilih pemimpin di Jakarta. Salah satu dalil andalannya adalah QS Al Maidah ayat 51.
Pertarungan itu berakhir tragis. Ucapan Ahok soal Al Maidah Ayat 51 akhirnya mengantarkan bekas Gubernur DKI itu pada kekalahan. Apesnya lagi, Ahok harus mendekam dipenjara karena ucapannya yang dinilai menghina ayat suci Alquran.
Saat itu, umat Islam berkali-kali berunjuk rasa besar-besaran agar Ahok dipenjara. Salah satu dedengkot yang mengkoordinir aksi itu adalah Ma’ruf Amin.
Ma’ruf Amin tidak hanya tampil di belakang layar saat melawan Ahok. Ia secara frontal menjadi saksi ahli di pengadilan. Ma’ruf pun menegaskan ucapan Ahok itu memang sudah menghina ayat suci.
“Menyatakan bohong terhadap ulama yang menyampaikan dalil surat Al-Maidah ayat 51 tentang larangan menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin adalah penghinaan terhadap ulama dan umat Islam,” kata Ma’ruf Amin saat membacakan fatwa pada 11 Oktober 2016.
Proses politik yang brutal di Jakarta itu tidak dilupakan Grace. Ia ingat bagaimana Ma’ruf Amin ada pada posisi berbeda pada Pilkada DKI Jakarta. Namun lagi-lagi, Grace dan teman-temannya tidak bisa banyak berbuat.
“Yes, kami memiliki aspirasi yang berbeda, dan kami juga belum lupa ada fakta politik, posisi yang diambil Kiai Ma’ruf ketika itu di Pilkada DKI, tapi lagi-lagi situasinya tidak ideal,” kata Grace.
Move On atau Move Out
Meski masih mengingat perseteruan yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta, Grace tidak mau membawa cerita itu berlarut-larut. Ia meminta pendukung Ahok untuk move on.
“Ya itu dia, Jakarta itu punya konteks sendiri, Pak Ahok sekarang sudah masuk tahanan, bahkan sudah hampir selesai, sampai kapan kita mau enggak move on,” ujar Grace.
Ia khawatir jika terus larut dengan masalah di masa lalu, justru membuat rugi. Apalagi jika sampai ada gerakan golput karena kecewa dengan pilihan wapres Jokowi.
“Saya memahami perasaan itu, karena saya juga merasakan yang sama tapi memang kondisinya tidak ideal,” katanya.
Grace berkali-kali menyebutkan kondisi yang tidak ideal, lantas jika tidak ideal, mengapa PSI tetap memilih bersama Jokowi? Grace punya alasan sendiri, ia khawatir mereka tidak bisa melihat Jokowi melanjutkan pekerjaannya pada periode kedua.
“Apakah kita mau melihat Pak Jokowi tidak melanjutkan pekerjaannya?” ujar Grace.
Akan tetapi seberapa signifikan suara PSI untuk Jokowi? Jika dilihat, Jokowi sudah membuktikan keberhasilannya tanpa PSI pada Pemilu 2014. Saat itu PSI bahkan belum lahir. Bahkan pada saat Pilkada DKI Jakarta, keberadaan PSI tidak lantas membuat Ahok menang.
Bila melihat hasil survei selama menuju Pilpres 2019, elektabilitas PSI masih sangat kecil, berada di bawah 2 persen. Misalnya survei LSI pada Juli lalu PSI elektabilitasnya hanya 0,2 persen, sementara Y Publica pada bulan Mei merilis elektabilitas PSI mencapai 1,2 persen. Angka survei itu tentu tidak signifikan untuk mendongkrak Jokowi.
tirto.id | Muhammad Akbar Wijaya- Mawa Kresna - Mufti Sholih
No comments:
Post a Comment